Rabu, 10 Oktober 2012

TRADISI TORON MADURA

tidak mengatakan pasti—dapat dipastikan kita akan bertemu dengan orang yang berasal dari Madura. Bahkan tidak hanya di seantero Indonesia ini, di negara-negara Timur Tengah dan sekitarnya, seperti Arab Saudi, Mesir, dan lainnya, juga akan ditemuakan orang Madura. Hal ini, memperkuat bahwa orang Madura memang suka merantau. Menurut Wikipedia, ini disebabkan karena keadaan wilayah Madura yang tidak baik untuk bertani. Tanahnya kurang cukup subur untuk dijadikan tempat pertanian. Faktor-faktor inilah yang mengakibatkan emigrasi jangka panjang dari Madura, sehingga Madura termasuk peserta program transmigrasi terbanyak. Berbagai macam provesi yang mereka lakoni di perantauan, seperti penjual sate, soto, tukang potong rambut tradisional dan lain sebagainya. Meski banyak orang Madura yang suka merantau, namun orang Madura di perantauan selalu terikat pada tanah leluhurnya, sehingga pada waktu- waktu tertentu, mereka pulang kembali ke Madura, meski untuk beberapa hari atau minggu. Hal inilah yang mereka sebut dengan sebutan toron. Sebutan toron bagi orang Madura adalah sebutan masyhur yang diberlakukan untuk mereka yang mau pulang kampung dari perantauannya—baik mereka yang merantau untuk mencari nafkah maupun menimba ilmu (pelajar/mahasiswa). Makna toron itu sendiri adalah turun atau mudik, dalam bahasa Indonesianya. Masyarakat Madura yang salah satu kebiasaannya adalah suka merantau, ketika mereka mau pulang kampung, maka mereka menyebutnya dengan sebutan toron. Sepadan dengan ini, ketika mereka mau kembali lagi ke perantauannya, mereka menyebutnya dengan ongge, di mana sebutan itu merupakan antonim dari kara toron itu sendiri yang berarti naik. Jika orang luar Madura mempunyai istilah mudik, maka orang Madura mempunyai istilah toron dalam hal ini. Tradisi toron ini biasa dilakukan orang Madura ketika sudah mau lebaran Idul Fitri (seperti saat ini), Idul Adha, dan Maulid Nabi. Ketika sudah tiba tiga moment tersebut dalam setiap tahunnya, orang Madura pasti menyempatkan diri untuk bisa toron beberapa saat dan selanjutnya kembali lagi, yang biasa disebut ongge. Lebih dari sekedar ritual tahunan, tradisi toron ini bagi orang Madura, mempunyai makna mendalam di dalamnya. Setidaknya ada beberapa makna yang bisa diambil dari tradisi toron-nya orang Madura ini. Pertama, kuatnya ikatan kekerabatan gemeinschaft yang berkembang di tengah keluarga orang Madura. Seperti yang sempat disinggung di atas, bahwa tradisi toron ini terjadi di setiap ada moment penting, dalam tiap tahunnya. Ketika moment itu tiba, mereka akan rela untuk mengorbankan waktunya agar bisa toron, tak peduli apakah mereka banyak uang atau tidak. Bagi mereka yang penting bisa toron dan ketemu para kerabat. Toron yang kadangkala identik dengan susah payah, prihatin, dan membutuhkan pengorbanan tinggi dalam perjalanan, semuanya dilakukan dengan ikhlas untuk sekadar bersilaturahmi dengan sanak keluarga selama beberapa hari atau minggu di kampung halaman. Kedua, adanya jiwa nasionalime. Jiwa nasionaliseme yang penulis maksud di sini adalah nasionalisme lokal yang ranahnya tanah kelahirannya (Madura). Jiwa nasionalisme lokal ini bisa dilihat ketika mereka toron dan kehidupan sehari- harinya. Tidak semua mereka yang toron adalah mereka yang berkecukupan secara ekonomi. Tidak jarang juga dari mereka yang harus menabung sebagian pendapatannya di daerah seberang untuk sekadar bisa toron, bisa menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Jiwa ini juga bisa dilihat dari sifat dan watak orang Madura ketika harga dirinya—baik menyangkut pribadi atau state-nya—diusik. Mereka akan marah dan berani manaruhkan nyawanya sekalipun, kalau sudah diusik. Dalam hal ini orang Madura mempunyai prinsip “lebbi begus pote tolang, atembeng pote mata” (lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata)). Ketiga, pemeliharaan warisan leluhur. Salah satu tujuan toron bagi orang Madura ini adalah untuk bisa bermaaf-maafan antar sesama dan silaturrahmi ke sanak kerabat secara langsung dengan cara yang muda mendatangi rumah yang lebih tua. Komunikasi lewat surat, telpon, dan sejenisnya tidak berlaku di sini. Jika ada yang demikian, maka hal itu jauh dari kata afdhal. Hal ini merupakan warisan leluhur orang Madura sedari dulu yang diajarkan secara turun temurun dan kutural. Di sinilah letak keintiman orang Madura dalam menjaga warisan leluhur. Akhir kata, betapa orang Madura begitu intimnya akan tanah kelahirannya. Hatinya selalu terikat dengan tanah leluhurnya. Hal inilah patut dipertahankan, sehingga orang Madura tidak kehilangan budaya/tradisi luhurnya, meski zaman sudah mulai mengglobal seperti sekarang ini